Friendship Forever
"Guys, 2 bulan lagi kita akan
berpisah!!!" sahut Jessi seraya memasuki kelas. Aku, Angel, dan Febby yang
lagi asyik mengerjakan peer bahasa terkejut oleh suaranya Jessi.
"Apa-apaan sih loe? Gitu aja heboh??" Febby buka suara, kelihatannya
ia marah. "Yah, gue kan cuma kasih tau.." balas Jessi tak mau kalah.
"Tau dari mana, Jes?" tanya Angel. "Tadi gue lewat kantor
kepsek. Dia lagi ngomong sama wali kelas kita, katanya gitu," jawab Jessi.
Aku, Angel, Febby, dan Jessi sudah
bersahabat sejak kecil. Kami sempat berpisah sekolah saat SMP, namun
beruntungnya, kami dapat berkumpul lagi di SMA Kusuma Bangsa. Angel,
cewek manis yang hatinya sangat rapuh. Dia sangat mudah terharu. Apalagi
menjelang perpisahan kelas XII ini. Berbeda dengan Febby. Febby sendiri sangat keras
orangnya, dia selalu kuat menghadapi masalah dalam hidupnya. Jessi, cewek
ceplas-ceplos yang sangat sering bertengkar dengan Febby, walau hanya karena
hal sepele. Aku, kata orang-orang, aku orangnya tertutup, tapi aku selalu jadi
penengah pertengkaran teman-temanku lho. Karakter yang berbeda dari kami
berempat membuat kami saling melengkapi. Semakin hari, persahabatan kami juga
semakin erat.
Tak terasa, 3 tahun telah berlalu. Sebentar
lagi, kami akan menghadapi UN dan akan segera meninggalkan sekolah yang telah
memberikan kami banyak kenangan. Yah, berat juga berpisah dengan teman-teman.
Siang itu, kami sedang berada di kantin yg
super padat itu. Kami memilih duduk di salah satu pojok kantin dan memesan
makanan. Jam istirahat ini harus dimanfaatkan sebaik mungkin karena akan banyak
pelajaran menunggu setelah jam ini.
"Hmm, capek banget akhir-akhir ne..
Ntar malah 3 les Mate lagi. Hadoohh!!!" keluh Jessi.
"Ya ampun, Jes.. Mengeluh aja. Ntar
setelah lulus gak bisa belajar mate lagi lho," godaku sambil tersenyum.
"Iya, Jes.. Nikmatin aja, tinggal
sebentar koq kita sekolah," lanjut Angel.
"Guys, rencana setelah lulus apa
ne??" tanyaku penasaran.
"Kawinn!!!!" jerit Jessi.
Semua anak lain langsung berpaling ke arah
kami.
"Woi, gak usah pake jerit gitu dong!!"
marah Febby.
"Oke,, oke.. Tapi benar kan Gel, abis
sekolah, loe mau nikah sama cowok loe tu," lanjut Jessi.
"Hus, apaan sih loe?? Gue masih pengen
nikmatin hidup sebelum nikah, tau? Gue masih pengen kuliah, kerja,
jalan-jalan," jawab Angel.
Makanan yang kami pesan datang. Kami mulai
melahap makanan kami.
Angel memecah kesunyian itu, "Lagian
aku masih harus kuliah di Bandung, sesuai permintaan mama papaku,"
"Gel, loe jadi kuliah di
Bandung?" tanya Febby.
"Hmm, sepertinya iya.. Mama papaku
sudah mengatur semuanya," ucap Angel polos.
"Gel, loe kan bisa bilang sama orang
tua loe kalo loe gak mau," ucapku.
"Tapi, gue rasa gak bad-bad kali
kuliah di Bandung. Gue aja pengen," ceplos Jessi.
"Yeee... Loe pikir semua orang punya
pikiran yang sama keq loe?? Dasaaarr..." balas Febby.
"Gel, loe kan masih punya waktu, pikir
baik-baik loe. Yang pasti loe bisa diskusi sama orang tua loe kalo loe gak mau.
Masa depan loe tu ada di tangan loe. Jangan sampe keputusan orang tua loe yang
berpengaruh," jelasku panjang lebar.
"Iya, Fan.. Thanks ya.." ujar
Angel.
Air matanya pasti udah turun jika saja bel
tanda masuk tak berbunyi.
Hari-hari berlalu dengan cepat. Tak teras
UN telah di depan mata. Siang itu, kami berkumpul di rumah Angel untuk belajar
bersama.
"Gel, tolong ambilin minum ya, gue
haus ne," ucap Jessi.
"Oops, sorry, gue lupa.. Bentar
ya," jawab Angel.
"Hooaaammm... Ngantuknya..."
ucapku sambil menguap.
"Kalau ngantuk ya tidur aja
lho.." sela Jessi.
"Huaaaa... Apaan sih soal ne? Koq gak
ada jawabannya??" keluh Febby tiba-tiba. Dari tadi dia yang serius
mengerjakan soal Mate itu.
"Udah, lewatin aja kalo emang gak ada
jawabannya," jawabku iseng.
"Lho?? Koq gitu, Fan? Itu pasti ada
jawabannya koq. Feb.. Sini
kubantu," ucap Angel seraya memberikan kami minuman.
"Hahahha, itulah aku, Gel.. Males aku
berkutat lama-lama sama soal yang gak jelas keq gitu," lanjutku.
"Hhahaha, gak boleh gitu lha
Fan.." jawab Angel.
Lalu, mereka berdua, Angel dan Febby pun
mulai asik mengerjakan soal rumit itu.
"Guys, gue uda mutusin untuk kuliah di
Bandung," Angel buka suara.
"Oh ya? Bagus lha.." jawab Febby.
"Tu kan, apa gue bilang, kuliah di
Bandung tu bagus lagi," sela Jessi.
Aku hanya bisa terdiam. Ada rasa sedih yang
menyelimuti diriku.
Hari-hari yang menakutkan pun telah tiba,
UN berlangsung dengan lancar. Tibalah hari terakhir bersekolah, ujian praktek
olahraga. Semua telah bersiap-siap untuk merayakan berakhirnya masa-masa
belajar. Akhirnya, giliran Jessi untuk melakukan uji ketahanan, yaitu berlari
mengelilingi lapangan 2 kali lalu push up 20 kali, dan kembali ke posisi
semula.
"Ayo, Jes, semangat!!" teriakku
pada Jessi, memberinya semangat. Jessi tersenyum padaku, lalu mulai berlari.
Ketika hendak melakukan push up, Jessi terjatuh pingsan. Betapa terkejutnya
aku. Langsung kami semua berlari ke arahnya. "Jes, Jess... Bangun,
Jes.." teriakku dan Angel. "Ayo, angkat Jessi ke ruang UKS,"
ujar guru olahraga kami, Pak Hardy. Maka diangkatlah Jessi oleh teman laki-laki
kami ke UKS. Kami disuruh untuk menunggu di luar. Sementara dokter sedang memeriksa
Jessi. Angel langsung menghubungi mama Jessi untuk memberitahunya kejadian ini.
"Ada apa dengan Jessi?? Koq dia
tiba-tiba pingsan??" tanya Angel.
"Jessi pasti baik-baik aja, kalian
jangan terlalu khawatir padanya. Kita tidak boleh gegabah seperti ini,"
ucap Febby. Aku terlarut dalam lamunanku. Hmm, Febby memang cewek yang kuat.
Saat-saat seperti ini memang hanya dia yang bisa menguatkan kita.
Tiba-tiba dari jauh, terdengar teriakan,
"Jessi, Jessi..."
Ternyata suara Ibu Jessi. Kami segera
menghampiri Ibu Jessi.
"Tante, yang tenang ya. Jessi pasti
baik-baik aja," ucapku menghibur ibunya Jessi.
Ibu Jessi kelihatan lebih tenang.
"Tante, Jessi gak sakit kan? Dia baik-baik aja kan selama ini?" tanya
Angel bertubi-tubi. Ibu Jessi terdiam, hening menyertai kami.
"Mama harus jaga rahasia ini ya,
jangan biarin teman-temanku tau," kata Jessi.
"Tapi, Jes.." ucap mamanya.
"Ma, pliz.. Aku gak mau mereka
khawatir sama aku, ma," potong Jessi.
"Oke, tapi kamu harus ikut terapi ya,
kamu pasti bisa sembuh," lanjut mamanya.
"Enggak, ma.. Aku gak mau. Terapi gak
akan bisa nyembuhin aku. Terapi cuma untuk habisin uang dan waktu aku!!"
jerit Jessi dan pergi meninggalkan mamanya.
"Jes, Jessi..." panggil mamanya.
"Tante," panggil Febby,
menyadarkan lamunan ibunya Jessi.
"Iya," jawabnya dengan gelisah.
"Tante baik-baik aja kan?"
tanyaku.
Tiba-tiba pintu kamar UKS terbuka, dokter
keluar bersama Jessi.
Angel langsung menyerbu ke arah Jessi.
"Jes, loe gak apa-apa kan?" tanya
Angel.
"Iya, gue baik-baik aja, cuma
kecapekan," jawab Jessi.
Sekilas aku melihat dokter berjalan pergi
bersama ibunya Jessi. Aku ingin mendengarkan percakapan mereka, tapi aku malah
dikagetkan oleh Febby, "Ayo, kita rayain berakhirnya masa sekolah
kita."
"Hah?? Tapi Jessi perlu istirahat yang
banyak kan?" tanyaku.
"Iya, kan dia aja yang perlu
istirahat, kita kan gak perlu," ucap Febby kasar.
"Hus, Feb.. Loe koq gitu?? gue gak
ikut deh, gue mending nemenin Jessi," seru Angel kesal.
"Hahhahaa," tawa Febby.
"Apaan sih loe?? Koq ketawa
gitu??" tanya Angel.
"Hadohhh, gue cuma bercanda kali,
lagian gue ada urusan, gue balik duluan ya.. Jes, jaga kesehatan ya,
bye.." lanjut Febby dan berjalan pergi.
Kami bingung melihat tingkah Febby itu.
Maka, pulanglah kami ke rumah masing-masing
dengan perasaan lega karena telah berakhirnya ujian. Namun, tak seorang pun
yang tau betapa sakitnya hati Jessi yang harus membohongi ketiga sahabatnya.
Semua itu dilakukan untuk kebaikan dia dan sahabatnya.
Selama liburan, kami jarang berkumpul.
Febby dan aku sudah bekerja, Angel sendiri sibuk mempersiapkan kuliahnya di
Bandung, sedangkan Jessi, kami jarang mendengar kabar darinya. Terakhir kami
dengar kabar, Jessi pergi ke Singapura untuk berlibur.
Hari pengumuman kelulusan kami pun tiba.
Kami berangkat ke sekolaha bersama orang tua kami. Dan setelah mendapat surat
kelulusan itu, kami sekelas berencana berlibur ke Puncak.
Kami begitu tegang menanti nama kami
dipanggil. Satu-satu dari kami terpanggil, dan kami semua lulus. Kami begitu
puas dengan pengorbanan yang sudah kami lakukan selama ini. Tapi, tiba-tiba hal
yang tak terduga terjadi, Jessi pingsan, mukanya pucat. Kekagetan kami
bertambah, ibunya Jessi berteriak histeris dan menangis,"Jes, Jessi,
bangun nakkk..."
Kami segera membawa Jessi ke rumah sakit.
Kami semua khawatir akan keadaan Jessi. Sepanjang perjalanan, aku terus berdoa
agar Jessi baik-baik saja. Entah kenapa hati kecilku berkata bahwa ada yang
tidak beres dengan Jessi.
Sesampainya di rumah sakit, kami langsung
membawa Jessi ke kamar pasien, dan seperti biasa, kami harus menunggu di luar
sementara dokter memeriksanya. Aku mencoba menenangkan diriku sendiri, Jessi
pasti baik-baik saja, dia akan berjalan keluar dari kamar dan berkata,
"aku baik-baik aja" Tapi 1 jam berlalu.. 2 jam... Dan terbukalah
pintu kamar Jessi. Aku mencari-cari sosok Jessi, tapi aku hanya menemukan
seorang berjubah putih, dokter. "Kalian keluarganya Jessi?" dokter
itu bertanya. "Iya, saya ibunya. Bagaimana keadaan anak saya, dok?"
tanya ibu Jessi.
"Bisa kita bicara di ruangan
saya?" tanya dokter itu.
"Dok, apa yang terjadi dengan teman
kami? Kami juga berhak tau, dok," ucap Febby.
"Hmm, baiklah. Teman kalian, Jessi,
sakit parah. Leukimia kronis. Dia tidak akan bertahan lama lagi," jelas
dokter itu. Ibunya Jessi langsung menangis. Angel pun langsung lemas dan
terduduk. Aku tidak percaya dengan omongan dokter itu. "Dokter pasti
bohong kan? Jessi pasti baik-baik saja. Aku mau lihat dia," ucapku,
langsung menghambur menuju kamar Jessi. Tapi, Febby menahanku, ia menarik
tanganku dan memelukku,"Fan, dokter gak mungkin berbohong, buat apa dia
berbohong? Jessi mungkin akan ninggalin kita, tapi kita harus kuat. Yang bisa
kita lakukan untuknya di hari terakhirnya yaitu memberinya kebahagiaan,
Fan.." ucap Febby. Hatiku pedih mendengar perkataan Febby. Air mataku membasahi
pipiku. Aku takkan sanggup kehilangan sahabat seperti Jessi. Tapi Febby benar,
kita tidak boleh terlarut dalam kesedihan ini. Aku bangkit, aku menjadi
semangat. Lalu kami mendekati Angel, memeluknya. Aku berkata," Gel, kita
harus kuat ya, supaya Jessi juga kuat," ucapku terbata-bata karena air
mataku. Angel menangis dan menggenggam tanganku, "Aku tak yakin bisa kuat
seperti kalian," ucap Angel. "Ayolah, kita harus menyenangkan Jessi
di hari-hari terakhirnya. Aku yakin kita pasti bisa melakukannya," ucap Febby
peluh. Kami berpelukan dan menangis hampir setengah jam sebelum kami memutuskan
untuk menemui Jessi.
Walaupun hati kami sungguh sakit mengetahui
Jessi telah menutupi ini semua, kami kelihatan tegar dan kuat di hadapan Jessi
yang terbaring lemah.
"Maafin aku ya.. Udah bohongin kalian
selama ini. Aku gak mau lihat kalian sedih gara-gara aku," ucap Jessi
lemah.
Hatiku pedih sekali mendengar ucapan Jessi.
Aku ingin sekali berontak.
"Jes, udahlah.. Loe harus cepat sembuh
ya, oke?" ucap Angel dengan senyum yang dipaksakannya.
Hari-hari kami lalui bersama di rumah
sakit. Kami membawakan bunga mawar kesukaan Jessi setiap pagi. Kami
menghabiskan seharian penuh di rumah sakit seharian itu. Entah kenapa, rasanya
aku tak ingin meninggalkan Jessi hari itu. Aku takut, saat aku pergi, Jessi
juga akan meninggalkan aku dan yang lain.
Malam itu, kami membawa Jessi ke taman
dekat rumah sakit. Dulu, kami sering menghabiskan waktu luang hanya dengan
duduk di bawah pohon. Walau tanpa berkata-kata, kami merasa telah bercakap-cakap
sangat lama.
Malam itu, kami juga duduk di bawah pohon,
sambil menatap rembulan yang bersinar terang.
"Gel, Feb, Fan, aku minta maaf ya kalo
selama ini aku ada salah. Aku mau kalian tau, aku sayang sangat sama kalian.
Thanks buat semuanya ya," ucap Jessi memecah keheningan pada malam itu.
"Udah lha, Jes.. Lagian kita juga
banyak salah sama loe," ujar Febby.
Aku dan Angel tak mampu berkata-kata. Kami
seperti mempunyai firasat bahwa Jessi akan pergi malam ini.
"Feb, gue minta maaf ya, aku yang
paling sering bertengkar sama kamu," lanjut Jessi.
"Udah lha, Jes.. Gue tau maksud loe tu
juga baik koq, gue juga minta maaf ya," ujar Febby.
Jessi tiba-tiba mengambil tanganku, tangan
Angel, dan Febby, meletakkannya di pangkuannya, berkata,"Kalian sahabat
terbaik yang pernah aku miliki dalam hidupku. Aku tak pernah menyesal hidup di
dunia ini, walau hanya singkat, tapi aku bahagia, terutama bisa mengenal
kalian. Terima kasih ya, aku sayang sama kalian, sangat." Aku menangis,
tak bisa menahan haru.
Aku menggenggam tangan Jessi dan
berkata,"Kamu juga sahabat terbaik yang pernah aku miliki. Aku sangat
menyayangimu."
Malam itu, kami berempat menangis bersama,
terkadang tertawa konyol mengingat kenangan lucu di kelas.
Saat jam menunjukkan pukul 22.00, kami
disuruh masuk, karena Jessi harus beristirahat. Namun, aku enggan melepas
genggaman tangan Jessi. Aku sangat takut.
"Fan, aku akan baik-baik aja, kalian
pulanglah," ucap Jessi, melepaskan genggaman tanganku.
"Fan, Gel, ayo, pulang, besok kita
datang lagi.." ujar Febby.
Aku merasa langkahku sangat berat untuk
meninggalkan Jessi. Angel juga demikian.
Aku menunggu sampai suster mengantar Jessi
ke kamar, baru aku pergi.
"Fan, tenanglah, Jessi akan baik-baik
aja. Ada mamanya yang menjaganya,"
ucap Febby.
Tapi, kata-kata Febby tak menghilangkan
kekhawatiranku.
"Feb, aku seperti mempunyai firasat,
aku merasa seperti Jessi akan meninggalkan kita, Feb," ucap Angel sambil
menangis.
"Hmm.. Aku juga sama seperti kalian.
Tapi apa kita punya hak untuk menahan kepergian Jessi? Ini semua rencana
Tuhan.." jawab Febby. Kulihat air mata juga membasahi pipi Febby.
Malam itu, aku dan Angel menginap di rumah
Febby, karena rumah Febby yang paling dekat dengan rumah sakit. Tak sekalipun
mataku bisa terpejam. Begitu juga Angel dan Febby. Terakhir, kami memutuskan
untuk berdoa.
Kami berdoa lebih kurang 1 jam. Setelah
selesai berdoa, aku mendapat telepon dari ibunya Jessi. Aku tak ingin
mengangkatnya. Akhirnya, Febby yang mengangkat teleponku.
"Halo, Fanny ya?" tanya ibu
Jessi.
"Bukan, tante. Ini Febby." jawab
Febby.
"Oohh, Feb, Jessi telah pergi,
Feb.." lanjut ibu Jessi.
"Hmm, aku turut berduka tante. Kami
akan segera ke sana," lanjut Febby.
Aku dan Angel sudah berpelukan, menangisi
kepergian Jessi, sahabat terbaik kami.
"Jessi akan segera bertemu dengan
Tuhan dan ayahnya," ucap Febby.
Malam itu, kami menangis bersama semalaman
mengenang semua yang telah terjadi selama kita bersahabat. Aku begitu terpukul
dengan semua ini, aku benar-benar tidak rela dengan kepergian Jessi. Tapi, aku
sadar, ini semua jalan Tuhan. Aku harus bisa menerimanya dengan lapang dada.
Hari ini tepat 1 tahun kepergian Jessi.
Kami, kecuali Angel, karena dia sudah berangkat ke Bandung, ziarah ke makam
Jessi. Lalu kami mengunjungi ibunya Jessi yang sekarang tinggal bersama
saudaranya. Ibu Jessi kelihatan lebih segar akhir-akhir ini. Ia juga sangat
senang melihat kehadiran kami. Diberikannya sepucuk surat kepada kami, katanya
dari Jessi. Kami membukanya dan membaca bersama.
Dear my lovely friends, Angel, Febby, dan
Fanny...
Saat kalian membaca surat ini, aku udah gak
ada di dunia ini. Aku sudah ada di surga bersama ayahku. Aku minta maaf, karena
tega ngebohongin kalian selama ini. Aku rasa permohonan maafku tak akan bisa
dimaafkan selamanya. Tapi, tak apa, setidaknya aku masih sempat mengucapkan
maaf. Jujur, aku juga sangat sedih harus berpisah dengan kalian. Pertama kali,
aku mendengar leukimia ada di tubuhku, aku sedih sekali, terutama harus
berpisah dengan kalian. Kalian benar-benar sahabat terbaikku.
Terima kasih, kalian semua rela
menghabiskan waktu kalian untukku di rumah sakit. Walaupun aku sakit dan
terbaring le
mah di rumah sakit, aku bahagia, ada kalian yang selalu berada di
sampingku, memberiku semangat dan senyuman terhangat yang bahkan mengalahkan
hangatnya mentari. Aku tau kalian juga sangat terpukul dengan kenyataan ini.
Namun, kalian tak pernah menunjukkannya di hadapanku. Aku sangat berterimakasih
untuk semuanya. Aku mencintai kalian, selamanya.
NB: Kalian harus bahagia di sana seperti
aku bahagia di sini.
Jessi
Ending yang menyedihkan... T^T
ReplyDeletenumpang promo :
kunjungi blogku juga yahh
jejesdepirates.blogspot.com
mana tahu bermanfaat, hehehe :D